Header Ads

Jangan (Ragu) Menikah Dengan Gadis Aceh - Ini Alasannya!


Sebenarnya tulisan tentang Mahalnya Menikah dengan Gadis Aceh awalnya saya tulis saat masih ber-friendster ria, saat masih di bangku kuliah dan mendapat inspirasi dari teman-teman yang memang hobi membicarakan apa saja, termasuk mengenai susah dan ribetnya menikah di Aceh, hingga budaya atau kebiasaan yang menyertai prosesi pernikahan tersebut. Namun, tulisan itu kini hilang entah kemana, sejak friendster ditutup oleh operasionalnya sebagai jejaring sosial.
Mahalnya mahar
Mahar secara istilah syara’ mungkin dimaksudkan sebagai sebuah pemberian dari pihak lelaki kepada perempuan sebagai salah satu syarat sahnya nikah (mohon koreksi jika defenisi yang saya buat sendiri ini kurang tepat, sudah lama tidak membaca kitab kuning :)).
Lain negara, lain budaya, lain pula pemberiannya. Ada emas, permata, uang, benda, hingga ada para sahabat yang hanya memberikan bacaan Alquran sebagai maharnya, wallahu a’lam. Yang pasti mahar itu harus nyata diucapkan saat ijab qabul, didengarkan oleh wali atau yang mewakiki, oleh saksi nikah dan mereka menyetujuinya. Jika mahar yang diberikan tidak sama dengan saat diucapkan, misal diucapkan 10 ribu, tapi yang diserahkan hanya 5 ribu, walaupun disetujui oleh wali dan saksi bahwa nikahnya sah, namun secara hukum, kedua mempelai ini belum bisa tidur bersama, begitu yang kudengar dari seorang teungku di dayah dulu.

Nah, yang menarik adalah saat berbicara mahar dalam budaya dan tempat dimana aku berasal, Aceh. Di Aceh pesisir, standar mahar adalah emas (dalam bentuk mayam, bukan gram, dan 1 mayam sekitar 1,7 juta rupiah), sedangkan di daerah Singkil, mereka tidak menggunakan emas, aku pernah diberitahu tentang mahar dari besi ini, tapi lupa namanya (yang ikut baksos BSPD Unsyiah di Singkil tahun 2004 mungkin masih ingat), yang pasti maharnya sangat murah dan kalau kalkulasiku tidak salah saat itu, jika di convert kedalam rupiah, hanya beberapa ratus ribu saja.
Sedang di Aceh pesisir, angkanya sangat jauh berbeda dari satu daerah ke daerah lain. Aceh Besar misalnya, kisarannya sekitar 10 hingga 15 mayam. Wilayah Abdya atau Blang Pidie hanya 2-3 mayam, ada yang bilang malah maksimal 5 mayam, yang terkenal justru daerah Sigli, kisarannya 20 hingga 40-an, bahkan ada yang sampai 100 mayam, walaupun ada juga yang cuma 10-an.
Menurut kawan yang berasal dari Sigli, alasan kenapa mahar di daerahnya tinggi adalah karena mahar tersebut dianggap sebagai modal bagi kedua pasangan setelah menikah nantinya, alasan yang cukup logis kurasa.
Dia juga menambahkan jika maharnya rendah, maka tetangga akan curiga, bahwa anak perempuan tersebut bukan “anak baik” lagi, sehingga harus segera dinikahkan, aku belum bisa setuju dengan alasan ini, yang menikahkan adalah wali, kenapa kata-kata tetangga yang harus menjadi pertimbangan?

Di daerah Aceh Besar, yang katanya maharnya lumayan affordable, saat akan menikah, pihak keluarga lelaki tidak harus menyerahkan uang hangus, sesuatu yang lazim di wilayah timur Aceh. Di sini uang isi kamar juga tidak dikenal, semua menjadi tanggung jawab para wali yang menikahkan, termasuk juga dalam hal walimah dan biaya hidup setelahnya.
Sudah cukup terkenal memang jika di Aceh Besar, setelah menikah orang akan tinggal di rumah pihak perempuan, hingga anaknya besar dan mereka siap untuk membina rumah sendiri, walau akhir-akhir ini, budaya seperti ini mulai berkurang, karena banyaknya rumah bantuan tsunami dan pasangan baru lebih memilih untuk tinggal mandiri.
Menurut saya pribadi, yang tidak enak saat harus menikah dengan mahar yang tinggi adalah ada perasaan seperti orang tersebut menjual anaknya. Makin tinggi pendidikan, makin mahal pula maharnya; pernah waktu kuliah dulu, seorang kawan membuat catatan ringan; tamat SMA: 10 mayam, masuk D3: 15 mayam, jadi sarjana; 20 mayam, lulus PNS; 30 mayam, jika kebetulan anak orang kaya, maka naik lagi jadi 40 mayam, namun jika sudah tua dan tak ada melamar, walaupun sudah sarjana dan PNS, maka maharnya kembali turun 10 mayam, turun harga, begitu dia mengistilahkan. Belum pernah ada yang membuat penelitian tentang hal ini, namun hipotesa yang diajukan si kawan layak untuk dipelajari lebih lanjut.
Takabur?
Hal lain yang kurang enak dari mahar tinggi tersebut adalah adanya efek takabur yang kadang muncul dari orang tua atau keluarga dari mempelai tersebut. Mereka merasa bangga karena anaknya menikah dengan mahar tinggi, sehingga dianggap sebagai “orang kaya” oleh tetangganya. Belum lagi harga ini kadang suka di promosikan ditempat-tempat umum, topik hangat saat rapat PKK misalya, sehingga fitrah sebuah perkawinan itu berubah menjadi ajang lomba, siapa kaya, siapa banyak maharnya? Lari menjauh dari tuntunan agama.
Yang paling berat dari mahar tinggi ini adalah si calon mempelai. Anggap saja itu bukan masalah jika mereka itu orang kaya, punya pekerjaan yang mapan dan sebagainya. Namun jika orangnya secara ekonomi pas pasan, tapi mahar tinggi tetap dipaksakan?, bisa batal rencana pernikahan.
Teringat curhat seorang kawan, yang sudah lama dituntut untuk menikah, tapi masih harus bekerja keras untuk mengumpukan mayam demi mayam, membeli alat peuneuwoe, isi kamar, belum lagi walimah…”waah ulee” katanya. Seandainya pernikahan itu tidak secomplicated yang diinginkan, niscaya..
Pamer kamar pengantin
Well, saya idak tau harus menulis apa tentang budaya “isi kamar”, tapi saya kurang setuju jika kamar pengantin juga harus di pamerkan kesemua orang, bukankan itu tanda kesombongan (jika itu mewah) dan akan memalukan (jika kebetulan pakai ranjang bekas). Kenapa bagian paling pribadi dari seseorang seolah-olah harus dipamerkan? Ada yang bisa menjawab? Atau ini hanya saya yang salah pengertian?

Buka kado
Hal lain yang saya sangat tidak setuju setelah walimah adalah acara “buka kado”, kenapa pemberian orang harus dibuka di depan umum? Bukankah itu pameran kebencian? Bayangkan jika ada orang yang kebetulan sedang sekarat ekonominya dan hanya mampu membawa kado seadanya, dan ketika dibuka diambut dengan kata2 “nyan di ba si polan, cit kriet that jih….” (itu yang dibawa si polan, memang pelit sekali dia) dari para tetangga? bukankan ini tidak fair? Kenapa tidak memberikan saja kado saja tanpa harus menulis nama? Dan yang membuka hanya keluarga yang punya hajatan saja? Dengan ini keihklasan dari pemerian itu tetap terjaga?
Banyak isu lain yang berkaitan dengan adat pernikahan dan pesta perkawinan di Aceh yang membuat orang luar "geleng kepala". Ada yang menganggapnya terlalu mahal, terlalu ribet, hingga terlalu over?. Tapi itulah konsekuensi dari sebuah budaya, dan sebagaimana prinsip dari budaya itu sendiri, dimana budaya terbentuk, tumbuh, berkembang sesuai dengan keinginan dan kehidupan orang orang dalam lingkaran budaya tersebut. Tidak ada yang salah dengan budaya, tapi kita harus menyesuaikannya dengan kebutuhan dan kelayakan yang kita miliki saat ini.
Semoga fitrah dari pernikahan itu bisa menjadi Rahmat bagi kedua mempelai, keluarga dan orang sekelilingnya, bukan sebagai ajang unjuk kekayaan, kemakmuran, pamer dan sebagainya. Dan yang paling penting, tidak membuat pernikahan itu mahal dan susah, karena setahu saya, bukan itu yang di tuntut dalam islam, tapi kemudahan dan keihlasan. Semoga.[]

Baca Juga: Orang Aceh Baik-Baik, Makanya Orang Aceh Gemuk-Gemuk

1 comment:

Powered by Blogger.