Header Ads

Mahalnya buah alpukat di Eropa


Aprikosen

Kemarin, saat berbelanja di sebuah toko di Berlin - Jerman, saya melihat sekotak buah alpokat berwarna hijau dengan label harga 1.49 euro tertempel di setiap buahnya, yang juga berarti harganya sekitar 20 ribu rupiah perbuah. Buahnya kecil, hampir setengah ukuran rata-rata buah pokat yang biasa kami makan di Aceh. Disamping kotaknya ada tulisan dari mana buah tersebut diimpor, sebuah negara di Latin Amerika. Saya sempat memegang dan ingin membeli, karena memang sudah la ma ingin makan buah pokat atau minum jus pokat, tapi melihat harganya, rasa hawanya mending saya pendam. "biar nanti saja waktu pulang ke Aceh, ingin ke Takengon lagi buat makan sepuasnya", suara dalam hati seperti di sinetron.

Melihat harga alpokat yang sangat mahal ini, saya teringat kisah lama saat kami melakukan bakti sosial di kabupaten Bener Meriah pertengahan tahun 2004 silam. Saat itu saya masih berstatus mahasiswa di Unsyiah, dan salah satu kegiatan yang rutin kami kerjakan adalah bakti sosial. Kami terbiasa mengunjungi daerah pelosok yang tidak ada di peta, bahkan camat di daerah tersebut kadang lupa akan nama daerahnya. Di tahun 2004 itu saja, tidak kurang dari 4 baksos yang saya ikut serta di dalamnya: Baksos BSPD ke Singkil, Baksos PEMA Unsyiah ke Terangon, Baksos IAIN di Bener Meriah, dan terakhir dengan PMI ke Pulo Aceh. Saat Tsunami terjadi, kami sedang di tengah laut diatas boat nelayan dalam perjalanan pulang baksos dari pulo Aceh ke Banda Aceh.

Nah, kisah ini tentang Baksos di Bener Meriah

Dari Banda Aceh, kami berangkat dengan bus. Saya lupa jumlahnya tapi kalau tidak salah ada sekitar 100 lebih mahasiswa yang ikut, dan kami di BKO-kan di dua posko terpisah. Sejak naik ke bus, keributan yang kami buat tidak pernah terhenti, kebetulan disitu banyak kawan yang memang raja baksos "pat na baksos, pasti na nan awak kah", (setiap ada baksos, pasti ada nama kaliah) begitu sebut salah seorang teman.

Kami duduk di bangku nomor 3 dari depan, ada saya, si lay, deki en pak Husen. Hanya itu kawan semobil yang saya kenal, lainnya banyak anak anak IAIN yang baru pertama kali ikut baksos. Karena memang kami konco yang pas, keributan dalam mobil tidak pernah berhenti, ada saja yang kami ceritakan, biasanya tentang kelucuan saat ikut baksos yang dulu. Penumpang lain semuanya diam, mungkin terlalu asik mendengar cerita kami yang lucu? Wallahu a'lam

Sebelum berangkat ke Bener Meriah, sedikit info yang saya tahu tentang daerah itu. Bener meriah merupakan kabupaten baru hasil permekaran dari Aceh Tengah, keduanya merupakan daerah penghasil kopi Arabica. Selain kopi, banyak sayur sayuran di daerah pesisir Aceh berasal dari sana, selain dari Berastagi tentunya. Disamping kopi dan sayuran,  daerah ini juga penghasil buah buahan seperti Jeruk, Terong  Belanda, dan Alpukat. Kedua daerah ini terletak di dataran tinggi Gayo,  tempatnya dingin, tanahnya subur, surga buat petani.

Nah, dari beberapa informasi, katanya buah buahan dan sayuran sangat murah disini, wajar memang karena mereka menanam sendiri tumbuhan tersebut. Tiba disana, saya tergabung dalam kelompok I, dan menginap di sebuah SMP dekat daerah air panas (lupa namanya). Saat itu sudah mendekati bulan puasa,  sekolah sudah libur, dan kami bisa menggunakan ruang kelas sebagai tempat tinggal.

Perjalanan butuh sekitar 8 Jam dari ibu kota propinsi, tiba disana sudah malam dan tidak banyak aktivitas yang bisa kami lakukan. Baru besoknya kami mulai hunting, berkenalan dengan warga sekitar, mandi di Air panas, dan yang paling penting; mencari buah-buahan gratis.

Kenapa gratis? Karena memang orang gayo suka memberi, apalagi untuk mahasiswa yang mengunjungi daerah mereka. Kawan saya pernah bilang, jika orang gayo itu sangat pemurah, hingga ia tidak bisa berdagang, karena kalau ada yang meminta barangnya, mereka tidak tega meminta uangnya, apalagi jika orang itu saudara atau orang yang dianggapnya saudara. Wajar jika kemudian penjual di daerah itu banyak orang Aceh pesisir, bukan orang gayo asli. Mungkin orang Gayo lebih senang bertani dari pada berdagang?
Di hari pertama kami langsung berkenalan dengan penduduk yang tinggal dekat sekolah dimana kami menginap, pertanyaan pertama juga tidak jauh dari misi terselubung kami, "dimana pohon alpukat ditanam"?, dengan santai si ibu menjawab, "banyak tuh di hutan", sambil menunjuk dengan dagunya ke arah pegunungan. Mendengar jawaban ini, secara reflek saya menjawab, "wah, udah lama gak makan pukat", dan mendengar jawaban ini, si ibu tertawa geli, sambil bertanya kembali? "apa? Makan pokat? Suka? Disini gak ada yang makan, buah pokat biasanya di kasi anjing", jelas si ibu sambil tersenyum. Mendengar jawaban ini, saya sempat merasa tersindir, tapi bisa memaklumi, karena memang sebelumnya ada kawan yang bilang penduduk disini tidak suka alpokat. Walaupun demikian, kalau sudah diekspor ke Banda Aceh, mereka kadang juga beli jus pokat.

Setelah tanya jawab beberapa hal dengan si ibu, saya jadi tahu, bahwa memang alpokat di daerah Gayo bukan di tanam khusus seperti mereka menanam kopi, tapi adalah tanaman yang tumbuh sendiri. Saat berbuahpun mereka tidak pernah memetiknya, biasanya ada agen yang datang dan memetiknya sendiri, dan mereka diberikan uang beberapa lembar ribu rupiah. Kalau tidak ada yang petik, ya jatuh ke tanah, dan menjadi makanan anjing.
Saat saya jelaskan bahwa harga Alpokat perkilo cukup mahal di Banda Aceh, si Ibu merasa tidak pernah tahu tentang itu, bahkan saat dibuat jus pokat, satu gelas bisa berharga 5000-an (saat itu, kini sekitar 8000-an), padahal segelas hanya setengahnya saja yang dipakai. Harga sekilo juga bisa mencapai 7000-an di Banda Aceh, harga yang biasa ditebus oleh agen ke pemilik pohon untuk sekarung kecil Alpokat yang mereka petik sendiri.

Hari hari berikut kami sibuk berkeling kampung, memberi ceramah, penyuluhan dan sebagianya. Sedang saya dan ketiga kawan tadi punya tugas khusus sebagai tukang sunat, iya kami memang sengaja diikutkan sebagai tim kesehatan. Entah berapa orang anak yang berhasil kami sunat dalam waktu itu, tapi jumlahnya kalau tidak salah --- puluhan.

Saat Baksos yang berlangsung dua minggu itu berakhir, kami pulang dengan "oleh oleh" yang menggunung dari penduduk. Saya mendapat setengah sak karung alpokat, ada juga kol, bibit kopi, terong belanda, dan lainnya. Mobil L-300 yang membawa kami pulang sampai tidak sanggup lagi berjalan karena dibelakang dan diatasnya penuh dengan barang kami. Cuma karena sudah kami sewa, pak sopir tidak bisa protes. Pokat dan sayuran pemberian warga tidak hanya kami makan sekeluarga, tapi bisa di bagi bagi untuk tetangga di kampungku, sangking banyaknya.
 §§§
Well, seandainya warga Takengon tahu cara mengekspor buah Alpokat ini ke Eropa, mungkin mereka tak akan lagi menyebut buah ini sebagai makanan anjing. Tetapi takutnya, jika buah ini jadi diekspor, harganya pasti naik, nantinya adik-adik mahasiswa yang baksos kesana tidak akan mendapatkan hadiah alpokat segoni seperti yang kami dapatkan dulu. Gimana ya?

No comments

Powered by Blogger.