Mengapa Pasien Skizofrenia Sering Berkeliaran Tanpa Tujuan? Memahami Psikopatologi “Wandering”
Bayangkan Anda melihat seseorang di jalan, berjalan mondar-mandir tanpa arah yang jelas. Kadang ia berbicara sendiri, menoleh ke kanan-kiri, atau bahkan tersenyum tanpa sebab. Bagi sebagian besar orang, pemandangan ini mungkin menimbulkan rasa heran atau kasihan. Namun dalam dunia psikiatri, fenomena ini dikenal dengan istilah wandering, yaitu perilaku berjalan tanpa tujuan jelas, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, sering kali berulang dan berlangsung lama.
Pada penderita gangguan jiwa, khususnya skizofrenia, wandering adalah salah satu gejala yang sering muncul. Ia bukan sekadar “kebiasaan aneh” atau “jalan-jalan biasa”, tetapi mencerminkan gangguan yang dalam pada otak, neurotransmiter, dan fungsi kognitif seseorang.
Lalu, mengapa fenomena ini bisa terjadi? Mari kita kupas pelan-pelan.
Apa Itu Wandering dalam Skizofrenia?
Wandering berbeda dengan berjalan santai atau olahraga. Pada orang dengan skizofrenia, wandering terjadi tanpa arah yang jelas dan tanpa tujuan rasional. Pasien bisa berkeliling ruangan rumah sakit, berjalan bolak-balik di lorong, atau bahkan keluar dari rumah tanpa tahu mau kemana.
Fenomena ini berhubungan dengan gangguan pikiran, emosi, dan fungsi otak. Ada yang berjalan karena mengikuti suara halusinasi yang menyuruhnya pergi, ada yang karena merasa dikejar musuh dalam wahamnya, dan ada pula yang hanya bergerak tanpa alasan karena pikirannya sudah tidak mampu merencanakan aktivitas bermakna.
Dasar Psikopatologi: Gangguan Perilaku Terarah
Secara psikopatologi, wandering menggambarkan hilangnya kemampuan untuk melakukan goal-directed behavior, yaitu perilaku yang memiliki arah, maksud, dan tujuan. Pada orang sehat, setiap tindakan biasanya dipandu oleh suatu tujuan — misalnya berjalan ke dapur untuk mengambil air minum, atau keluar rumah menuju kantor.
Pada skizofrenia, terutama tipe kronik atau dengan gejala disorganisasi, kemampuan ini hilang. Perilaku menjadi fragmented (terpecah-pecah), tidak terkoordinasi, dan sering kali hanya berupa respons otomatis terhadap dorongan dalam pikiran atau perasaan yang kacau.
Peran Neurotransmiter dalam Wandering
1. Dopamin dan Teori Hiperdopaminergik
Sejak lama, penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia sangat erat dengan ketidakseimbangan dopamin.
- Pada jalur mesolimbik (dari area ventral tegmental ke nucleus accumbens), terjadi hiperaktivitas dopamin.
- Kelebihan dopamin di jalur ini membuat otak salah menafsirkan stimulus biasa menjadi sesuatu yang penting atau berbahaya. Akibatnya, muncullah halusinasi (misalnya mendengar suara yang tidak ada) dan waham (keyakinan salah seperti merasa dikejar atau diawasi)
👉 Contoh nyata: jika seorang pasien mendengar suara halusinasi berkata, “Ayo keluar sekarang! Jangan diam di sini, ada bahaya!”, maka ia bisa langsung berjalan tanpa henti, mengikuti perintah itu. Itulah yang disebut command hallucination, salah satu penyebab wandering.
Dengan kata lain, hiperdopaminergik di mesolimbik adalah mesin pendorong munculnya halusinasi dan waham, yang kemudian mengekspresikan diri dalam perilaku wandering.
2. Hipodopaminergik di Jalur Mesokortikal
Berbeda dengan mesolimbik, jalur mesokortikal (menuju prefrontal cortex) justru mengalami defisit dopamin.
- Fungsi prefrontal adalah pusat perencanaan, pengambilan keputusan, dan mengarahkan perilaku ke tujuan tertentu.
- Saat dopamin di jalur ini rendah, pasien kehilangan fungsi eksekutif: sulit menetapkan tujuan, bingung membuat rencana, dan gagal mengarahkan aktivitas. Akibatnya, pasien bisa berjalan tanpa tujuan, hanya karena tidak ada “peta” mental yang mengarahkan ke suatu maksud.
3. Glutamat dan GABA
Selain dopamin, ada dua neurotransmiter lain yang penting:
- Glutamat: Hipofungsi reseptor NMDA (glutamat) pada skizofrenia membuat otak sulit mengintegrasikan informasi. Pasien menjadi tidak mampu menyusun rangkaian tindakan yang logis.
- GABA: Penurunan aktivitas GABA menyebabkan lemahnya kontrol inhibisi. Jadi, dorongan untuk berjalan bisa terjadi tanpa ada “rem” yang menghentikan.
Hasilnya adalah perilaku motorik berulang dan tidak terarah, salah satunya wandering.
Gangguan Neuroanatomi yang Berperan
Penelitian neuroimaging pada skizofrenia menunjukkan beberapa area otak yang berhubungan dengan wandering:
- Prefrontal cortex (DLPFC): gangguan fungsi eksekutif, tidak bisa mengatur tujuan.
- Hippocampus: berperan dalam memori spasial dan orientasi ruang. Kerusakan di sini membuat pasien mudah tersesat.
- Basal ganglia & nucleus accumbens: pusat aktivitas motorik yang sangat dipengaruhi dopamin, sehingga hiperaktivitas bisa menimbulkan dorongan bergerak terus-menerus.
Dengan kata lain, wandering adalah hasil dari kombinasi kerusakan di sistem kognitif (prefrontal), sistem memori spasial (hippocampus), dan sistem motorik (basal ganglia).
Pengaruh Hormon dan Sistem Biologis
Selain neurotransmiter, beberapa hormon juga berperan:
- Kortisol (HPA axis):
 
- Pasien skizofrenia sering mengalami stres kronik dan disregulasi HPA axis.
- Kortisol yang tinggi merusak hippocampus → memperburuk disorientasi dan wandering.
- Melatonin dan ritme sirkadian:
- Banyak pasien skizofrenia sulit tidur dan mengalami gangguan jam biologis.
- Hal ini menjelaskan mengapa wandering sering muncul pada malam hari.
- Estrogen (protektif pada perempuan):
- Estrogen membantu menyeimbangkan dopamin.
- Saat kadarnya menurun (misalnya pascamenopause), gejala psikotik bisa lebih parah → wandering juga lebih sering terlihat
Bagaimana Wandering Muncul dalam Kehidupan Sehari-hari Pasien?
Mari kita ilustrasikan:
- Kasus 1: Seorang pria 30 tahun dengan skizofrenia paranoid mendengar suara berkata, “Cepat keluar, ada orang mau membunuhmu!” Ia langsung berlari keluar rumah, berjalan jauh tanpa tujuan, hingga ditemukan polisi.
- Kasus 2: Seorang wanita 45 tahun dengan skizofrenia kronik tampak berkeliling bangsal rumah sakit setiap hari. Ia tidak bisa duduk lama, tidak tahu mau kemana, hanya berjalan tanpa arah sambil berbicara sendiri.
- Kasus 3: Pasien demensia dengan gejala psikotik berjalan keluar rumah tengah malam. Ia tidak tahu arah pulang karena hippocampusnya rusak, lalu tersesat.
Ketiga kasus ini menunjukkan bahwa wandering bisa muncul karena halusinasi, waham, disorganisasi, atau disorientasi spasial.
Dampak Klinis Wandering
- Risiko keselamatan: pasien bisa hilang, kecelakaan, atau menjadi korban kejahatan.
- Beban keluarga: keluarga harus selalu mengawasi, menimbulkan stres caregiver.
- Petunjuk diagnostik: wandering sering menjadi tanda adanya skizofrenia kronik, disorganisasi berat, atau gangguan kognitif menyertai.
Jadi bisa Kita simpulkan Bahwa Wandering pada skizofrenia bukanlah sekadar “jalan-jalan tanpa tujuan”. Fenomena ini adalah cerminan kompleks dari:
- Hiperdopaminergik di jalur mesolimbik → halusinasi & waham yang memaksa pasien berjalan.
- Hipodopaminergik di mesokortikal → hilangnya fungsi eksekutif dan tujuan perilaku.
- Hipofungsi glutamat & GABA → kehilangan integrasi kognitif dan kontrol inhibisi.
- Kerusakan hippocampus & prefrontal → disorientasi dan kehilangan arah.
- Disregulasi hormonal (kortisol, melatonin, estrogen) → memperparah gejala wandering.
Fenomena ini membuat kita semakin sadar bahwa skizofrenia bukan hanya soal “pikiran aneh”, tetapi gangguan otak yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan bahkan bergerak.
Maka, saat kita melihat seseorang yang terus berjalan tanpa tujuan, mungkin di balik langkah-langkah itu ada pergulatan kompleks dalam otaknya — sebuah dunia psikotik yang tidak terlihat oleh mata, namun sangat nyata bagi dirinya.
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Post a Comment