Header Ads

Kisah Dua Janda Srikandi Aceh: Teungku Fakinah dan Cut Nyak Dhien

Pejuang Wanita Aceh 

Scene: Bara Rumoh Aceh, Lam Krak, sore

“Hati saya masih seperti dulu, cinta saya akan negeri ini tidak akan pernah berubah, betul suami saya kini dengan bersama kaphe, tapi ini hanyalah cara kita untuk mengetahui taktik dan merebut senjata mereka”. Sebut Cut Nyak Dhien sambil tertunduk, kedua tangannya mencoba membetulkan kain yang menutup kepalanya karena ditiup angin.

Senyap, hanya bunyi angin bertiup, dan bunyi ayam jantan sekali kali berkokok. Butuh beberapa saat hingga Teungku Fakinah, ulama perampuan dari Lam Krak, untuk menjawab sahabatnya sesama pejuang.

“Jika itu benar seperti itu yang Cut Nyak kabarkan, maka saya bisa memaklumi. Jangan sampai kami janda janda dari Lam Krak menjadi lawan Teungku Meulaboh selanjutnya. Jangan sampai kita berperang sesama Aceh, jangan sampai kita harus syahid sebelum kaphe Beulanda pergi dari Nanggroe kita ini”, jawab Teungku Fakinah berdiplomasi.

Tak ada kontak mata antara kedua srikandi ini. Keduanya saling menunduk, tanda takzim dan penghormatan satu sama lain. Cut Nyak Dhien yang datang langsung dari rumahnya di Lampisang ke Lam Krak, tempat kediaman Teungku Fakinah, ia nampak masih lelah. Walau umar dari Meulaboh sudah bergabung dengan Belanda, tapi ia sadar, pertemuan ini sangat penting sekaligus berbahaya. Ia tidak mengutus orang kepercayaan ke Lam Krak untuk mengabarkan apapun tentang perjuangan ke Teungku Fakinah, tapi ia datang sendiri, walau harus sembunyi sembunyi...

Scene: dekat meunasah, Lam Krak, pagi

"Wahee Nyak Syam, sampaikan kabar ke Cut Nyak Dhein di Lampisang, bahwa mungkin lon tuan harus pindah ke Sigli, Seulimeum sudah di kuasai kaphe Belanda, sangat berbahaya jika kita harus bertahan di Lam Krak“. Perempuan kepercayaan tersebut mengangguk, kini tanggung jawab untuk menyakaikan pesan ke pimpinan perang di Lampisang ada di tangannya. Ia bergegas, mengambil jalan di kebun kebun kelapa yang jarang di lewati Belanda“

Scene: pergunungan Lampuuk,  siang

"Kabarkan kepada sahabat saya Teungku Fakinah bahwa saya baik baik saja, sejak linto saya wafat, kami tidak bisa lagi pulang ke rumah di Lampisang, marsose marsose kaphe ada dimana mana. Ingat wahai nyak syam, berhati hatilah kamu di jalan pulang, mulai saat ini, kita harus bergelap gelap didalam terang, dan berterang terang di dalam gelap“. Nyak syam mengangguk, kain yang menutup kepalanya diikatnya lebih kuat, rencong yang teletak di samping bukusan kain diatas tanah di masukkan kepingganya. Ia siap bergerak, kembali ke lam krak, berharap bisa kembali bertemu dengan gurunya tersebut.

Bersambung..(kapan2 :D)

No comments

Powered by Blogger.