Header Ads

Wisata Halal Aceh, Sudahkah Kita Siap?




“Aceh itu dari jaman kakek moyang sudah halal, tanpa pengakuan pun Aceh itu sudah halal, saya yakin semua warung makan dan restoran di Aceh itu juga halal, jadi kenapa kita butuh sertifikasi segala?” begitu pendapat seorang teman di warung kopi ketika membaca berita mengenai  wisata halal Aceh yang akhir-akhir ini jadi topik diskusi pelaku wisata di Nanggroe tercinta ini.

Komentar diatas bisa saja benar, yang namanya juga komentar, terserah yang komen lah, pasti bisa dicari pembenarannya. Misal pendapatnya mengenai makanan di Aceh yang memang benar-benar halal, karena memang 98% penduduk di Aceh adalah muslim dan yang menjual makanan juga orang muslim, jadi gak perlu lah kita bahas dimana bisa haram. Akan menjadi menarik kalau “halal tourism” ini dibahas secara lebih luas, bukan berdasarkan komentar diatas, gimana pembahasannya? Ikuti terus kick andy, eh, tulisan ini.


Ambil saja defenisi wisata halal dari carboni et al (2014) yang dikutip oleh Battour et al (2015) di jurnal Tourism Management Perspectives, dimana ia mengatakan kalau wisata halal ini sebagai “suatu bentuk tourism yang berdasarkan Islam, melibatkan orang muslim yang teguh menpertahankan kebiasaan (kewajiban) agama Islam mereka saat sedang dalam perjalanan”. Jelas dari pernyataan ini bahwa produk yang ditawarkan ke pelancong muslim adalah makanan yang halal. Pun demikian, defenisi halal tourism ini bisa melebar, tidak hanya terbatas kepada makanan saja, tetapi juga dengan pelayanan, sumberdaya, dan tempat. Pelayanan islami tentu tidak bisa dipisahkan dengan sopan santun, ramah tamah, senyum, (senyum kan sedekah dalam islam), dan sebagainya. 

Begitu juga dengan aktivitas, turisme halal harus memastikan agar para pelancong untuk bisa tetap beribadah pada waktunya, shalat pada waktu, bisa berpuasa dengan nyaman, dan sebagianya, “tidak seperti acara sosialisasi wisata halal yang saya ikuti tadi, dimana waktu asharnya gak ada break, sehingga kita harus keluar sendiri untuk shalat asar”. J Aktivitas yang ditawarkan untuk wisata halal juga katanya tidak melanggar ajaran syariat, tidak ada joget-joget, tari-tari yang memamerkan aurat, dan sebagainya. “pokoknya aktivitas yang ditawarkan harus islami lah, kayak seumula, seumukoh, ceumeulho, dan kawan-kawannya”.

Selain itu, fasilitas yang terlibat dalam aktivitas ini juga katanya harus islami, ya harus bersih, suci, , tidak kotor, pokoknya enak dipandang lah. Jangan seperti yang terjadi sekarang, asik gembar gembor  wisata Islami, tapi masuk ke WC masjid udah gak ada air, WC nya tersumbat, atau pintu WC penuh dengan puisi cinta anak muda, gitu-gitulah pokoknya.

Apakah Aceh sudah siap?
Berkaca dari defenisi diatas, setidaknya ada tiga komponen utama yang harus disiapkan, yang pertama tentu sumber daya manusianya. Dan sumber daya ini tidak hanya orang dinas pariwisata, tetapi masyarakat biasa. Percuma saja pemerintah koar-koar, tapi saat ada turis Arab masuk, langsung diminta uang, emang sih syeh-syeh itu banyak uang, tapi jangan main palak gitu lah (nauzubillah). Sosialisasi terhadap masyarakat harus dilakukan di berbagai lini, mulai dari petugas imigrasi bandara, porter koper bandara agar tidak memonopoli trolley, supir taksi agar tidak memblokir jalan keluar dari pintu bandara dan rebutan penumpang, maksa naik angkutannya, asik berulang kali nanya “kita antar kenapa buk? Naik mobil saya saja, dsb dsb”, tukang becak, agar harganya tidak naik turun suka-suka, penjual di pasar, asal jangan begitu lihat yang beli itu orang luar, langsung harganya naik 500 kali lipat, penjual jagung di pantai, agar masing-masing punya tempat sampah dan tidak membiarkan pengunjung membuaang sampah ke laut, tukang parkir, agar jangan ongkos parkir naik suka-suka, dan gak punya struk tanda bayar, pokoknya semua orang yang ada di Aceh ini diberitahu lah, agar jujur dan tidak mengambil kesempatan berlebihan saat ada turis datang.

Komponen kedua tentu infrastruktur. Kita harus berpikir ulang, setelah turis turun di bandara, dengan apa mereka bisa ke kota, apakah kita sudah sediakan public transport yang memadai? Apakan mereka semua orang kaya yang bisa sewa taksi? Atau mereka yang lebih memilih untuk naik damri? Belum  lagi infrastruktur pelengkap lain seperti perangkat informasi, baik digital dan manual, tour guide, informasi tentang masing-masing objek wisata, dan sebagainya.

Yang terakhir tentu sistemnya. Apakah system pelayanan turis halal kita sudah memadai? Sudah sesuai? Tersentral atau terurai? Kalau mereka butuh informasi, apa cukup dengan HP atau harus bertanya kesana kemari? Kalau bulek non-Muslim ingin masuk masjid raya, apa baju jubahnya selalu tersedia, dan baju itu rutin di cuci?, kalau mereka ke Sabang, apa benar bisa ber bikini atau harus ber burqini? Semuanya harus diperjelas dan disosialisasikan.

Harus diakui, PR masih sangat banyak, tapi bukan berarti tidak bisa dilakukan. Mulailah dari kita sendiri, promosikan kalau Aceh itu aman, nyaman, tak usah takut di kunjungi. Informasikan ke rekan yang mau berkunjung ke Aceh, kalau mereka akan mendapatkan hal yang berbeda, yang tidak ada di tempat lain kecuali di Aceh, Ranup, Pliek U, Km 0 Dan Masjid Raya diantaranya. Bahkan kalau mau yang paling extreme, bisa selfie dengan nyaknyak di peunayong misalnya. Gunakan media sosial yang pasti gratis, posting foto yang indah, dan kalau mau lebih afdhal, tinggalkan komentar dan share tulisan ini, karena dengan like dan share, kita bisa mengubah nasib orang lain jadi lebih baik, begitu kata mbak pemateri tadi.

Itu saja dulu

7 comments:

  1. Dlm slide presentasi mbak siti dr lombok sumbawa tu .. Like + Share = You Care..
    Mantap tulisan sungguh ter inspirasi ketika pagi ku traveling bait per bait tulisan ini, banyak pemahaman ttg wisata sdh mulai ku pahami..

    Kuncinya Wisata Halal, Mulai lah dg apa yg di anjurkan oleh Ajaran Islam, sikap kesadaran utk mewujudkan wisata halal, jgn ktk ada kompetisi wisata halal nasional 2016 saja kita asyik dukung and vote... tapi wisata halal terus berlanjut kalau brand halal diminati oleh pasar internasional.

    Terimakasih www.situnis.com Tulisan mu sdh menggugah semangat pagi ku.

    ReplyDelete
  2. mantap kali tulisan situnis ini. siapa dulu istrinya, hahahaha

    ReplyDelete
  3. Iya juga ya., sebenarnya yang perlu sosialisasi tentang wisata halal itu masyarakat Acehnya, biar permainan harga tidak melambung tiba2.

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar sekali, sosialisasi itu penting, jangan sampe wisatawan datang, eh malah diusir orang kampoeng :)

      Delete

Powered by Blogger.