Header Ads

Aceh dan Norwegia: Ironi di Balik Populasi Serupa, Jurang Akademik yang Menganga


Pernahkah Anda membayangkan sebuah wilayah di ujung barat Indonesia memiliki kemiripan fundamental dengan sebuah negara maju di Skandinavia? Provinsi Aceh dan negara Norwegia, meski terpisah ribuan kilometer oleh benua dan lautan, ternyata memiliki kesamaan yang mengejutkan: jumlah populasi keduanya berada di angka sekitar 5,5 juta jiwa.

Fakta ini mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang. Namun, kesamaan demografis ini mengundang sebuah pertanyaan yang lebih dalam dan krusial: jika fondasi kuantitas manusianya serupa, bagaimana dengan kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat tertinggi, khususnya di sektor akademik?

Ketika kita menelusuri data jumlah tenaga pendidik ahli—yakni Profesor (Guru Besar) dan Lektor Kepala (Associate Professor)—kita akan menemukan sebuah ironi. Di balik populasi yang setara, terbentang sebuah jurang kapasitas akademik yang sangat lebar. Perbandingan ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk menjadi cermin reflektif bagi kita di Aceh tentang di mana posisi kita saat ini dan ke mana arah yang harus kita tuju.

Angka yang Berbicara: Perbandingan Data Konkret

Statistik tidak pernah bohong. Data resmi dari kedua wilayah menunjukkan gambaran yang sangat kontras. Mari kita bedah angka-angka tersebut untuk memahami skala perbedaannya.

Menurut data dari Statistics Norway (SSB) untuk tahun 2023, negara Skandinavia tersebut memiliki fondasi akademik yang luar biasa kokoh.

  • Jumlah Profesor (Guru Besar): 4.958 orang
  • Jumlah Lektor Kepala (Associate Professor): 7.458 orang

Angka belasan ribu tenaga ahli senior ini menjadi tulang punggung bagi universitas-universitas Norwegia dalam melakukan riset, inovasi, dan mencetak lulusan berkualitas yang menopang ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge-based economy) mereka.

Lalu, bagaimana dengan Aceh? Mendapatkan data terpusat yang presisi untuk seluruh provinsi memang menjadi tantangan tersendiri. Namun, kita bisa mendapatkan gambaran yang representatif dengan melihat data dari dua universitas negeri terbesar dan tertua di Aceh.

Hingga awal tahun 2025, data yang terkumpul menunjukkan:

  • Jumlah Profesor (Guru Besar): Sekitar 264 orang (gabungan dari 211 Guru Besar di Universitas Syiah Kuala dan 53 di UIN Ar-Raniry).
  • Jumlah Lektor Kepala (Associate Professor): Sekitar 425 orang (data ini baru dari Universitas Syiah Kuala per akhir 2024).

Angka di Aceh kemungkinan sedikit lebih tinggi jika kita memasukkan data dari puluhan perguruan tinggi swasta dan negeri lainnya. Namun, sangat jelas bahwa totalnya masih sangat jauh dari angka yang dimiliki Norwegia.

Tabel Perbandingan (Data Perkiraan 2023-2025)

WilayahPopulasi (Perkiraan)Profesor (Guru Besar)Lektor Kepala (Assoc. Prof.)
Norwegia5,5 Juta4.9587.458
Provinsi Aceh5,6 Juta~264+~425+

Tabel di atas menunjukkan sebuah realitas yang menohok. Dengan jumlah penduduk yang sama, Norwegia memiliki hampir 19 kali lipat lebih banyak Guru Besar dibandingkan jumlah yang terdata di dua universitas utama Aceh.

Mengapa Jurang Ini Terjadi? Analisis di Balik Angka

Perbedaan drastis ini tentu tidak terjadi dalam semalam. Ada faktor sejarah, visi pembangunan, dan strategi investasi jangka panjang yang membedakan keduanya.

Model Norwegia: Investasi pada Otak, Bukan Hanya Beton

Norwegia adalah contoh negara yang berhasil mentransformasikan kekayaan sumber daya alam (khususnya minyak dan gas) menjadi modal intelektual. Sejak beberapa dekade lalu, mereka sadar bahwa masa depan tidak bisa bergantung selamanya pada sumber daya alam. Oleh karena itu, investasi besar-besaran digelontorkan ke sektor pendidikan tinggi dan riset.

Universitas diberi otonomi dan dana yang melimpah untuk menarik talenta terbaik dari seluruh dunia. Menjadi seorang profesor di Norwegia bukan hanya soal gengsi, tetapi juga didukung oleh ekosistem riset yang kompetitif, gaji yang layak, dan infrastruktur laboratorium yang canggih. Hasilnya adalah lahirnya inovasi, teknologi, dan kebijakan publik berbasis data yang membuat negara mereka terus relevan di panggung dunia.

Konteks Aceh: Membangun dari Titik yang Berbeda

Di sisi lain, Aceh memiliki lintasan sejarah yang berbeda. Sebagai daerah yang melewati fase konflik berkepanjangan dan dihantam bencana tsunami dahsyat pada 2004, prioritas pembangunan selama hampir dua dekade terakhir tentu terfokus pada rekonstruksi infrastruktur fisik, pemulihan sosial, dan stabilitas ekonomi dasar. Ini adalah sebuah pilihan yang logis dan niscaya.

Namun, di tengah proses itu, investasi untuk membangun "infrastruktur otak" mungkin belum menjadi prioritas utama. Meskipun perguruan tinggi di Aceh terus berbenah dan menunjukkan kemajuan—terbukti dengan terus bertambahnya jumlah doktor dan Guru Besar baru—laju pertumbuhannya belum mampu mengejar ketertinggalan secara eksponensial.

Proses untuk menjadi Guru Besar di Indonesia sendiri terkenal panjang dan berliku, menuntut publikasi internasional bereputasi, pengabdian masyarakat, dan berbagai syarat administratif lainnya. Tanpa dukungan ekosistem riset yang kuat, pendanaan yang memadai, dan kolaborasi internasional yang intensif, percepatan jumlah Guru Besar akan selalu menjadi tantangan.

Arah ke Depan: Menjadikan SDM Unggul sebagai Prioritas Utama

Melihat jurang ini bukan untuk berkecil hati, melainkan untuk menyusun strategi. Aceh memiliki potensi. Semangat belajar masyarakatnya tinggi, dan komitmen para akademisi untuk terus mengembangkan diri tidak perlu diragukan.

Beberapa langkah strategis yang bisa menjadi fokus bersama:

  1. Visi Pembangunan Berbasis Pengetahuan: Pemerintah Provinsi Aceh perlu secara eksplisit menempatkan peningkatan kualitas SDM dan riset sebagai pilar utama pembangunan jangka panjang, sejajar dengan pembangunan infrastruktur fisik.
  2. Sinergi Perguruan Tinggi: Perlu ada kolaborasi yang lebih erat antara universitas negeri (seperti USK, UIN, Unimal, UTU), LLDIKTI Wilayah XIII yang menaungi PTS, dan pemerintah daerah untuk membuat peta jalan bersama dalam percepatan Guru Besar dan Lektor Kepala.
  3. Ekosistem Riset yang Kondusif: Mengalokasikan dana riset daerah yang kompetitif, memfasilitasi akses ke jurnal internasional, dan membangun pusat-pusat riset unggulan yang relevan dengan potensi lokal (misalnya, ekonomi biru, energi terbarukan, kebencanaan, atau industri halal).
  4. Menarik Talenta: Menciptakan skema untuk menarik diaspora Aceh yang telah menjadi akademisi hebat di luar negeri untuk kembali dan berkontribusi di tanah kelahiran.

Pada akhirnya, jumlah penduduk yang besar hanya akan menjadi bonus demografi jika diimbangi dengan kualitas SDM yang unggul. Tanpa para ahli di menara gading—para Guru Besar dan Lektor Kepala yang meneliti, mengajar, dan membimbing generasi berikutnya—sebuah wilayah akan kesulitan untuk berinovasi dan bersaing.

Perbandingan dengan Norwegia adalah pengingat keras bahwa membangun sebuah daerah bukan hanya tentang membangun jalan dan gedung, tetapi yang lebih penting adalah membangun manusianya. Sudah saatnya Aceh tidak hanya bangga dengan jumlah penduduknya yang setara dengan Norwegia, tetapi juga mulai bercita-cita memiliki kualitas modal intelektual yang setara. Jalan itu panjang, tetapi harus dimulai hari ini.

Oleh: Marthoenis.

Diposting pada: 17 Juni 2025

No comments

Powered by Blogger.