Header Ads

Dari Seumula hingga Ceumeulho, Bertani Padi ala Aceh


Bagi petani tradisional di Aceh, mereka hanya mengenal dua musim dalam setahun; "musem blang" dan "musem luah blang". Musem blang adalah saat para petani turun kesawah untuk menanam padi. Sedangkan musem luah blang adalah saat sawah kosong, sapi dilepas dan anak anak bermain layangan di hamparan sawah yang luas itu. Musem blang biasanya diawali saat musim hujan tiba. Karena memang secara tradisional sawah baru ditanami ketika air di sawah penuh dengan air hujan. Hal ini juga khusus bagi sawah tadah hujan, atau sawah yang menggantungkan airnya dari air hujan. Karena musim tanam sangat tergantung dengan musim hujan, yang datang setahun sekali, Jadinya masyarakat aceh  hanya bercocok tanam disawah hanya sekali dalam setahun.
Meski musim tanam ditentukan oleh kedatangan musim hujan, waktu tepat kapan tanah harus dibajak, ditanam, dipupuk, dirawat dan dipanen ditentukan oleh "kejreun blang".  Keujreun blang semacam orang tua yang dipilih oleh masyarakat untuk mengatur masalah persawahan. Orang yang menjabat sebagai keujreun ini biasa dipanggil dengan "teungku keujreun". Selain mengatur kapan masyarakat mulai turun kesawah, teungku keujreun juga bertanggung jawab untuk menyelesaikan sengketa yang bisa terjadi antara petani.


Pada musim blang ini juga, peraturan peraturan tidak tertulis dilaksanakan oleh masyarakatnya. Peraturan misalnya sapi sudah harus diikat, tidak boleh dibiarkan lepas karena bisa memakan padi orang. Begitu juga dengan ritual "khanduri blang",  dimana orang memasak dan makan bersama di dekat blang, bahkan ada juga yang disertai dengan acara doa bersama dengan harapan padi mereka dapat tumbuh dengan baik dan panennya tidak gagal. Waktu kecil, selain musim maulid, musim khanduri blang ada musim yang sangat kami tunggu sebagai anak kecil, karena biasanya saat itulah kami bisa makan ayam masakan khas aceh. Sedang sehari harinya kami hanya makan buah ayam :)
Ritual tanam padi dimuali dengan "meu-ue" atau membajak sawah. Untuk membajak sawah ini, secara tradisional ureung  Aceh menggunakan sapi atau lembu, dan menggunakan "langai".  Mata langai terbuat dari besi dan ditempel pada kayu besar dan ditarik oleh sapi. Saat dibajak, mata langai ini ditancap dalam tanah sehingga permukaan tanah yang sebelumnya rata, kini bagian atasnya terangkat dan menjadi lunak. Setelah dibajak dengan langai tadi, baru diratakan dengan "creuh" yang berbentuk panjang dan terdiri dari gigi -gigi dari kayu.


Untuk persiapan padi, biasanya "pade bijeh" diperam dirumah dan disipreuk dengan air, sehingga tunasnya muncul. Setelah bertunas baru dibawah kesawah untuk dilakukan "sipreuk pade" atau tabur benih. Setelah benihnya tumbuh beberapa centimeter, baru dilakukan "seumeubet" atau mencabut bibit padi untuk ditanam di lahan sawah yang lebih besar yang sudah di creuh tadi.
Seumula dalam bahasa indonesia bisa diartikan "bertanam", "jak seumula" berarti pergi bertanam. Acara seumula ini dilakukan bersama sama, petani berdiri berjejer sambil menungging, kemudian terus mundur untuk terus bertanam, hingga sawahnya selesai semuanya ditanam.
Setelah beberapa waktu dan padinya mulai tumbuh, mereka harus merawat padi tersebut dari rumput liar yang tumbuh di sela-sela padi, dalam bahasa Aceh ini dikenal sebagai "meuraweut" atau merawat. Padi terus dirawat, diberi pupuk, diairi air dan dikeringi hingga siap untuk dipanen. "paroh tulo" atau mengusir burung pipit yang menjadi hama padi merukan kegiatan yang dilakukan mulai padinya "ka rhoh" hingga "ka juet ta koh". Waktu kecil, tugas rutin  saya sepulang dari sekolah adalah "jak  paroh tulo" ini.

...
Musim panen dikenal juga dengan istilah "musem keumeukoh", "jak keumeukoh" berarti pergi memotong atau panen padi. Jika saat "seumula" dilakukan dengan gerakan mundur untuk menanam, maka saat kemukoh itu sebaliknya, orang yang memotong padi tetap dalam posisis jongkok  untuk memotong padi dengan "sadeup", tapi gerakannya maju. Padi yang sudah dipotong kemudian diikat seukuran genggaman tangan dengan batang padi. Ikatan ikatan tersebut selanjutnya dikumpulkan di satu tempat untuk dirontokkan.
Sebelum mesin perontok padi dikenal oleh masyarakat kita, kegiatan perontokkan padi ini dilakukan secara manual, ada yang dengan memukul mukul pada kayu, ada juga yang mempelitirkannya dengan kaki, hingga semua butir gabah rontoh dari batangnya. Namun demikian, apapun cara yang digunakan, kegiatan perontokan padi ini dikenal sebagai "ceumuelho". Jika dalam bahasa aceh "meulho" berarti berkelahi, apakah "ceumeulho" berarti berkelahi dengan batang padi?.
Setelah padi atau gabah ini berhasil dipisahkan dari batangnya, apakah tugas mereka sudah selesai? Rupanya tidak saudara-saudara, masih ada kegiatan "peumeukrui", "meuadei atau adee padee" hingga "top padee" yang harus mereka kerjakan. Tapi berhubung saya sudah lapar, tulisannya kita cukupkan disini dulu. Tetangga yang sedang ceumulho disawah samping rumah kami sudah memanggil-manggil saya untuk untuk menyantap makan siang di blang mereka :)
Tangse 080214

2 comments:

Powered by Blogger.