Header Ads

Review Izin Untuk Penataan Perizinan Kelapa Sawit Itu Penting, Anakku



Dear Naqiya,

Kali ini Ayah ingin menceritakan kepadamu tentang Review Izin Untuk Penataan Perizinan perkebunan kelapa sawit di Aceh. Ayah sadar, ini adalah cerita yang sangat berat untukmu, apalagi engkau masih berumur 2 tahun. Namun, keinginan untuk membahas masalah ini denganmu tiba-tiba terlintas setelah kita singgah di Stan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh Barat Daya (Abdya) dalam rangka peringatan HUT Abdya tempo hari. Ya, di depan pintu masuk, panitia menempatkan beberapa tandan buah segar untuk menarik perhatian pengunjung. Engkau langsung menuju ke arah buah sawit yang berwarna merah kehitaman itu, lalu kau petik satu, dan hap, tanganmu memasukkannya ke dalam mulut. Melihat tingkahmu, mamakmu langsung berteriak, “Itu enggak boleh dimakan, Sayang.” Dan ia mengambil buah itu dari tanganmu.

Ayah yakin, kamu kebingungan dengan cerita yang ingin ayah tuliskan ini. Kenapa ayah tiba-tiba menuliskan tentang pohon kelapa sawit? Tentang review izin penataan perizinan? Putriku, sejujurnya ayah merasa gelisah, Nak. Kegelisahan Ayah hadir ketika membaca berita tentang salah satu kabupaten di Aceh, Aceh Tamiang, namanya, kini telah dikepung oleh perkebunan kelapa sawit. Hampir seluruh wilayah daerah itu adalah kebun sawit. 

Nak, saat kita masuk ke dalam stan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Abdya itu, salah satu pegawainya menjelaskan kepada Ayah bahwa di wilayah tempat kita berdomisili sekarang, kelapa sawit merupakan komoditas unggulan selain padi. Mereka ingin fokus pada perkebunan kelapa sawit dengan mendatangkan para investor. Mendengar penjelasan itu, Ayah langsung membayangkan bagaimana jika suatu hari nanti, Abdya bernasib serupa dengan Aceh Tamiang. Hijaunya kebun pala di Alur Sungai Pinang berubah menjadi kebun sawit. Sungai-sungai yang jernih dengan bebatuan besar mengering karena airnya diserap oleh tanaman tersebut. Kemana lagi Ayah akan mengajakmu bermain, Nak? Objek Wisata Putroe Aloh adalah tempat favoritmu di Abdya. Setiap minggu, kamu selalu mengajak ayah dan mamak ke sana, untuk bermain air di sungai yang sangat jernih itu.

Selain bermain di alam, kamu juga sangat senang ketika mamakmu membacakan dongeng. Anehnya, bukannya mendengarkan dongeng, kamu malah penasaran dengan gambar yang terdapat pada buku. Contohnya ketika mamakmu membacakan cerita tentang orang utan Kalimantan yang harus hidup dipenangkaran karena tempat tinggal aslinya telah hancur akibat dibukanya hutan untuk perkebunan kelapa sawit. Kamu sangat penasaran dengan orang utan betina yang sedang menggendong anaknnya. Karena belum pernah melihat orang utan, kamu mengira binatang itu adalah monyet.

“Ma, monyet ma, monyet lagi mimim,” ujarmu saat melihat gambar bayi orang utan sedang menyusu pada ibunya.
“Ini orang utan, bukan monyet,” jelas mamakmu.
“Oyang tan, ya. O...” ucapmu kemudian.

Tahukah engkau wahai anakku? Di tanah kelahiranmu, Aceh, ada juga orang utan. Ya, orang utan itu hanya hidup di hutan Kalimantan dan Sumatera. Nah, kalau di Sumatera hidupnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Nak, Ayah ingin memberitahumu bahwa, di Nagan Raya dan di tempat tinggal kita sekarang, terdapat hutan yang merupakan bagian dari KEL dan menjadi habitatnya orang utan Sumatera.

Rawa Gambut Tripa, itulah nama tempatnya. Kawasan ini adalah paru-paru dunia karena sebagian besar oksigen yang kita hirup untuk bernafas berasal dari sini. Ia tersebar seluas 62 ribu ha di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya dan Kecamatan Babahrot, Abdya. Kamu pasti ingat, beberapa waktu yang lalu kita pernah ke Babahrot, tepatnya ke Alue Jambee untuk menikmati asam keueng ikan kerling. Kamu sangat menyukai daging ikan tersebut. Nah, disitulah rawa gambut Tripa Abdya itu berada.

Sayangnya, Rawa Tripa yang gambutnya berfungsi untuk menstabilkan iklim daerah kita perlahan mulai hancur. Kamu sering bertanya, “ itu pohon apa, Ayah?” Saat kita, berjam-jam lamanya, melewati perkebunan yang sangat luas di Nagan Raya sampai-sampai kamu mengalami kebosanan dan merengek pada mamakmu. Itulah pohon kelapa sawit, Nak. Pohon yang buahnya begitu menarik perhatianmu saat di pameran itu. Dan akibat pembukaan lahan kelapa sawit inilah Rawa Tripa rusak. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab membabat dan pepohonan yang ada disana. Mereka mengeringkan gambut yang berfungsi untuk menyerap air dan membakarnya. Dan mengubah tempat yang sangat indah itu menjadi perkebunan kelapa sawit.

Akhirnya, orang utan yang hidup di sana tidak memiliki rumah. Di antara mereka ada yang mati, ada pula yang berkelana mencari rumah yang baru. Padahal, orang utan di kampung kita itu jumlahnya sudah sedikit dan statusnya dilindungi. Tidak hanya orang utan, Anakku. Semua binatang disana kehilangan rumah. Mereka harus mengungsi untuk bertahan hidup. Kasihan sekali, bukan?

Ketika hujan terus menerus turun, tidak ada lagi gambut dan pepohonan yang meresap air, akibatnya bencana banjir bandang pun datang. Kelapa sawit memang pohon, tetapi ia tidak mampu menyerap air seperti pohon-pohon besar dan gambut. 

Ayah dan mamakmu takut sekali, Nak. Jika tangan-tangan jahat itu masih saja merusak hutan lindung yang di dalamnya hidup beragam flaura dan fauna, jawaban apa yang kami jawab nanti, jika kamu sudah besar dan bertanya, “ Yah, Mak, pohon mahoni itu bentuknya seperti apa, ya? Semak belukar itu apa? Harimau itu bagaimana rupanya?”

“Mak, apakah tulisan di buku ini hanya dongeng belaka? Hewan-hewan yang sering mamak ceritakan hanya imajinasi belaka? Karena sebenarnya semua itu tidak ada. Saya melihat, di tempat kita hanya ada perkebunan kelapa sawit.”

Ya Allah, Ayah tidak ingin pertanyaan itu muncul dari bibirmu, sayang. Tidak. Apa yang selama ini kamu lihat, yang kamu dengar, tentang hutan, tentang binatang, semua itu nyata dan bukan dongeng belaka. Namun, bila pemimpin kita hanya tinggal diam melihat alam ini dihancurkan untuk kepentingan sekelompok orang, maka apa yang ayah prediksikan pasti akan terjadi.

Anakku, harapan kita kini hanya ada pada pemimpin kita. Pemerintahan Aceh yang memegang kendali setiap kebijakan. Tahukah engkau, Nak. Perkebunan kelapa sawit yang luas itu tidak akan ada jika pemerintah tidak memberikan izin berupa Hak Guna Usaha (HGU). Karena tanah yang mereka gunakan adalah milik negara. Oleh karena itu, ayo, Nak, mari kita bantu Mayarakat Transparansi Aceh (MaTA) untuk minta pemimpin daerah kita untuk mereview izin untuk penataan perizinan khususnya HGU perkebunan kelapa sawit.

Kerusakan hutan, hilangnya habitat hidup satwa langka, banjir bandang yang tidak bisa dikendalikan, adalah akibat dari tidak jelasnya izin HGU kelapa sawit yang diberikan oleh pemerintah. Karenanya, dengan direview kembali izin HGU kelapa sawit tersebut, pemerintah bisa merevisi jika ada kebijakan yang membuat hutan lindung rusak akibat ekspansi sawit. Pemerintah juga bisa bertindak tegas jika ada perkebunan kelapa sawit yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan.

Anakku, satu hal yang ingin Ayah tegaskan kepadamu. Kelapa sawit yang menarik perhatianmu itu bukanlah monster yang jahat. Kelapa sawit itu mengandung banyak sekali manfaat. Kamu tahu, minyak goreng yang sering digunakan oleh mamak untuk memasak masakan kesukaanmu? Lalu margarin yang kita oleskan di atas roti saat sarapan? Dan sabun mandi yang setiap hari kita gunakan untuk membersihkan tubuh? Semua itu berasal dari olahan kelapa sawit. Kehadiran kelapa sawit memang sangat berguna bagi kita. Namun, alangkah baiknya jika kelapa sawit tersebut ditanam di atas tanah bekas yang tidak digunakan lagi. Karena kalau hutan ditebang atau dibakar, maka dampaknya sangat buruk untuk kehidupan kita, dan makhluk hidup lainnya.

Naqiya, sayang. Cukup disini dulu cerita Ayah tentang kelapa sawit. Ayah sadar kamu sedikitpun tidak akan paham tentang tulisan Ayah. Tapi ketika engkau besar kelak, Ayah ingin kamu membaca cerita ini sendiri, menyerapi kata demi kata, dan mari bersama-sama kita menyelamatkan alam tercinta ini.

Tulisan ini diikutsertakan dalam
Review Izin untuk Penataan Perizinan

1 comment:

Powered by Blogger.