Header Ads

Preman Kecil di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh


Sore itu, hujan rintik sedang menyirami bumi Kutaraja, suasana bertambah sejuk dengan lantunan ayat suci yang saling menyambut dari berbagai penjuru Banda. Saya dengan rombongan pelancong dari negara seberang baru saja tiba di Mesjid Raya. Dari pagi, kami telah mengunjungi berbagai situs wisata yang ada di Banda Aceh dan Aceh Besar. Mulai dari kuburan masal dan mesjid Baiturrahim di Ulee Lheu, kapal apung di punge, hingga mesjid Rahmatullah di Lampuuk. Hari itu seluruh pelancong sepakat untuk melakukan shalat magrib berjamaah di mesjid kebanggan waga Aceh ini.
Awalnya saya ikut dengan rombongan ini karena diajak oleh seorang kawan untuk menemani para turis ini. Maklum jumlahnya lumayan besar dan umumnya sudah berusia tua. Tapi belakangan saya juga menjadi tour guide dadakan, sesuai dengan kapasitas saya yang hanya blogger dan warga biasa. Sedangkan di tempat wisata seperti kapal apung atau museum tsunami, tour guide nya sudah di persiapkan dan saya sangat salut dengan kemampuan berbahasa dan bercerita mereka. Kawan-kawan dari Singapore ini ternyata lebih mudah mengerti si abang tour-guide di kapal apung dengan penjelasannya dalam bahasa melayu, dibandingkan dengan penjelasan saya yang dalam Bahasa Indonesia, plus sekali-kalimeujampu Bahasa Aceh.
Tiba di mesjid raya, mereka langsung berfoto ria, dengan latar mesjid tentunya. Ada yang ingin difoto sendiri, tapi ada juga foto group, posisi saya tentu beralih jadi fotografer. Nah, saat sedang foto foto itulah, seorang anak kecil yang berusia 3-4 tahun mendekat, langsung meminta uang, disertai sedikit cerita penderitaan mereka. Saat turis ini mau saya foto pun, mereka kekeuh meminta, tanpa mengindahkan permintaan saya untuk tidak mengganggu para pelancong ini. Setelah seorang anak pergi, yang lain muncul, dengan permintaan yang sama, gaya yang sama, sama-sama tidak pakai sandal. Rupanya bukan hanya anak laki, seorang anak perempuan juga ikut bergabung, menadahkan tangan ke para turis ini. Entah bagaimana mereka tahu kalau ini pendatang, sedangkan kami yang ikut membawa rombongan, tak satupun mereka dekati, padahal dari segi wajah, kita kan tak jauh berbeda dengan mereka.
Seaat kemudian, azan magrib berkumandang, para pelancong langsung meluncur ke tempat wudhu, begitu juga dengan kami. Anak-anak yang tadi beraksi kini berkumpul dengan seorang wanita paruh baya, entah apa yang dibicarakan, ibunya? Atau mandornya? Yang pasti si ibu juga pernah saya lihat meminta-minta di sekitaran Banda, lengkap dengan gendongan bayinya.
Saat qamat dikumandangkan, kami sudah berada didalam mesjid, anak-anak peminta tadi sudah tak tahu kemana bersembunyi. Selesai salat, pemandangan berubah. Sepanjang jalan dari tengga mesjid hingga pintu keluar, ada puluhan peminta-minta disana, ada yang tua, cacat, dan sebagianya, mungkin mereka memang berhak untuk meminta-minta karena keterbatasannya? Wallahu a’lam. Bagaimana dengan anak-anak tadi? Rupanya mereka kembali beraksi, dan caranya juga tidak jauh berbeda dengan cara mereka “memaksa” dari para tamu luar negeri tadi, mereka akan terus membuntuti hingga permintaan mereka terpenuhi? Tapi ada juga yang langsung berpindah ke target lain begitu permintaan mereka dijawab dengan gelengan oleh para jamaah magrib target mereka.
Pertanyaannya kemudian, siapa sebenarnyaa anak anak tadi? Dari mana mereka berasal? Siapa orang tua mereka? Dan yang paling penting, siapa yang mengajarkan mereka untuk meminta-minta? Apakah mereka benar anak yatim? Kurang mampu? Tidak adakah wali mereka? Yang mau mengajarkan malu untuk meminta-minta? Jika memang mereka terlantar, kemanakah pemerintah selama ini? Tak adakah perhatian dari dinas sosial untuk masalah ini?
Saya coba bertanya ke beberapa kawan yang concern dengan masalah ini, dan jawabannya malah membuat saya geleng kepala. Katanya mereka sudah diorganisir untuk bekerja seperti itu, ada oknum yang bermain, dan pemerintah sudah berulang kali menangkap dan mengajarkan mereka untuk tidak berbuat demikian. Tapi tetap saja mereka muncul lagi. Saya jadi bertanya, apakah pemerintah bisa dengan begitu mudah dikalahkan, atau cocoknya dipeungeut oleh para oknum itu? Tidakkah kita berfikir bagaimana generasi Aceh kedepan jika dari kecil pekerjaan mereka adalah meminta-minta? Bagaimana orang Aceh mengaku sebagai daerah yang islami, jika mngurus anak kecil dengan benar saja tidak bisa?
Saya percaya, mengobati penyakit ini sama seperti mengobati orang sakit lainnya, dimana prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati” harus diimplementasikan. Dan untuk mengurus preman preman kecil ini, jangan hanya dengan razia sebulan sekali plus karantina dan pembinaan, tapi lakukan upaya pencegahan. Di mesjid raya misalnya, ada setidaknya 6 pintu masuk kedalam pekarangan mesjid, maka tempatkan saja satu orang satpam disitu. Merekalah yang memantau siapa yang boleh masuk kemesjid, siapa yang tidak. Dan yang harus di screen tidak hanya para peminta-minta saja. Tetapi para penjual yang sering memborong pintu masuk mesjid. Jujur, dimana rasa nyaman ketika kita mau beribadat saja harus jengkel karena berdesak-desakan. Jika setiap tempat sudah dijaga sedemikian rupa, bagaimana mereka bisa masuk untuk mengganggu orang lain?
Aceh kini sedang gembar gembornya mempromosikan diri sebagai salah satu destinasi wisata religi di Indonesia. Tapi jika disalah satu destinasi wisata islami dipenuhi dengan anak-anak kecil yang meminta-minta, apakah itu bisa dikatakan daerah islami? Atau memang itu yang ingin diditunjukkan kepada wisatawan? Wallahu a’lam.

2 comments:

  1. Masalahnya adalah kita belum ada payumg hukum utk menangkapi mereka sampai jera aduen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, payungnya entah kemana hilang... biasa, sibok ngen mandera :)

      Delete

Powered by Blogger.