Header Ads

Seandainya Pasien Jiwa Itu Penderita HIV- AIDS


Arloji di tangan saya telah menunjukkan pukul sembilan lebih lima belas menit. Kuliah tentang kesehatan jiwa yang sedang saya sampaikan pada siswa SMAN 1 Banda Aceh segera saya akhiri. Seorang guru yang hendak mengajar pada jam berikutnya telah berdiri di depan pintu. Meski masih banyak pertanyaan dari siswa yang begitu antusias mendengar penjelasan saya tentang gangguan jiwa, tetapi saya terpaksa menyudahinya. Selain karena waktu yang diberikan telah usai, saya pun harus segera meluncur ke aula sebuah hotel berbintang ternama di Banda Aceh. Acara sosialisasi tentang HIV-AIDS sedang diselenggarakan di sana dan kebetulan saya juga mendapatkan undangan untuk ikut sebagai peserta di acara yang disponsori oleh sebuah organisasi internasional.


Ketika saya tiba di sana, ternyata pemateri sedang menyampaikan materi tentang HIV-AIDS. Karena saya adalah seorang praktisi kesehatan, maka sekilas informasi yang disampaikan sudah saya ketahui sebelumnya. Namun, ada informasi baru yang saya dapatkan yaitu tentang peningkatan jumlah penderita HIV AIDS di Aceh yang kini mencapai 220 orang dan juga tentang banyaknya klinik dan rumah sakit yang bisa digunakan oleh penderita HIV ini untuk mendapatkan pengobatan.
Mendengar begitu mewahnya fasilitas yang tersedia buat penderita HIV ini, mulut saya komat kamit sendiri. Betapa tidak, penderita HIV ini mendapatkan bimbingan yang luas, support tim yang bagus dan sangat banyak NGO atau organisasi yang bergerak dalam bidang ini. Dana dari pemerintah dan bantuan luar negeri juga mengalir bagaikan air di musim hujan buat penderita penyakit yang belum ada obat untuk penyembuhannya ini. Hebatnya lagi, meskipun obat untuk meredam keaktivas virus yang katanya mahal, para ODHA ini bisa menikmatinya dengan gratis. Luar biasa!
Selain obat, mereka juga punya akses yang sama dengan orang normal untuk bekerja. Tidak boleh ada stigma dan diskriminasi bagi mereka hingga untuk punya anak pun bisa direncakan dengan dokter spesialis. Ah, sungguh beruntungnya mereka.

Bukannya saya menentang dengan program anti stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Tidak sama sekali. Saya sangat mendukung dengan kemudahan akses pengobatan untuk mereka dengan HIV-AIDS. Namun, apa yang dilakukan pemerintah dan juga lembaga donor terhadap ODHA berbanding terbalik dengan kawan-kawan saya yang mengalami gangguan jiwa. Jangankan untuk menghindar dari stigma, untuk tahu apakah mereka menderita gangguan jiwa atau tidak saja hampir tidak bisa.
Informasi yang tersedia mengenai kesehatan jiwa sangatlah terbatas dan bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Stigma terhadap gangguan jiwa dan penderita gangguan jiwa selalu ada dan sepertinya tak pernah berkurang. Kepercayaan-kepercayaan yang salah terhadap gangguan jiwa tidak pernah diimbangi dengan informasi yang memadai. Penderitaan para penderita gangguan jiwa sepertinya tak akan berakhir dalam waktu dekat ini.
Banyak sekali perbedaan perlakuan terhadap kedua kelompok penderita penyakit ini. Yang satu, meski penyakitnya masih baru, tapi berbagai penelitian dan program telah dilakukan untuk mengurangi penderitaan mereka, sebaliknya yang satu lagi, meski penyakitnya sudah ada sejak sejarah manusia tinggal di muka bumi ini, penanganannya sepertinya masih sangat terbatas dan bisa dikatakan tidak ada perkembangan sama sekali.
Syukurnya, sejak diluncurkan program Jamkesmas, JKA, Askes atau asuransi kesehatan lainnya, para penderita gangguan jiwa kini memiliki akses yang lumanyan terhadap obat. Namun itu hanya berlaku bagi mereka yang mau berobat atau terpaksa diobati. Tak ada screening atau case finding seperti penderita HIV.
Jujur saya sangat cemburu dengan program program yang diberikan pada ODHA, dan semoga kedepan, para ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) juga memperoleh perlakuan yang sama. Semoga!
Lambhuk 10.1013. Refleksi hari kesehatan jiwa sedunia

No comments

Powered by Blogger.